Profil Diri

Foto saya
mengenai diri saya, saya lahir di Jakarta,9 Mei 1989.Saya anak ketiga dari tiga bersaudara.Pengalaman pendidikan saya :TK Assifa,SD Kebon Pala 01,SMP 80Jakarta,SMA 42 Jakarta jurusan IPS sewaktu saya masih sekolah saya slalu mendapat peringkat tiga besar dan pada saat ini saya kul di UNJ jurusan ekonomi.Harapan atau cita2 saya mengambil jurusan ekonomi agar saya menjadi ahli ekonom dan dapat menjadi pengusaha ataupun Wiraswasta.visi hidup saya dapat membahagiakan orang tua dan misi hidup saya hari ini harus lebih baik dari hari kemarin.Sekilas mengenai profil diri saya.

Selasa, 26 Mei 2009

Anomali Pendidikan Tinggi Indonesia

Jakarta - Enam puluh tiga tahun sudah pendidikan tinggi Indonesia eksis dan berkembang di bumi persada ini. Dimulai dari hanya memiliki 200 orang mahasiswa saja pasca perang dunia kedua sekarang mahasiswa Indonesia telah berjumlah 4,3 juta dengan 155.000 dosen yang tersebar pada 82 universitas negeri dan 2.800 perguruan tinggi swasta (dikti.go.id).

Investasi di dunia pendidikan sejatinya merupakan bagian dari pengembangan intangible capital yang merupakan syarat dari suksesnya pembangunan suatu bangsa. Pertanyaan yang mendasar adalah sejauh mana pendidikan tinggi ini telah melahirkan manusia-manusia terdidik yang siap berkontribusi bagi kemajuan negeri?

Hari Pendidikan Nasional tahun ini kita rayakan di tengah situasi transisi politik yang sangat dinamis. Kebijakan lama bisa jadi berlanjut jika formasi pengelola kebijakan tidak berubah. Begitu juga sebaliknya. Transisi politik memberikan peluang untuk melakukan perubahan dan perbaikan dalam dunia pendidikan. Oleh karenanya Hari Pendidikan Nasional tahun ini mestilah menjadi momentum evaluasi nasional atas apa yang terjadi dalam dunia pendidikan tinggi kita.

Salah satu hal yang mesti dievaluasi adalah munculnya anomali dalam dunia pendidikan tinggi. Out put dari proses pendidikan yang terjadi ternyata memiliki deviasi yang cukup besar dari tujuan yang seharusnya.

Tidak sedikit lulusan pendidikan tinggi dalam suatu bidang tidak mampu menyelesaikan permasalahan yang timbul di bidangnya. Sehingga, kehadiran mereka sebagai sarjana di suatu bidang menjadi kurang bermakna bagi kemajuan bidang tersebut. Pada akhirnya menjadi kurang bermakna bagi kemajuan bangsa.

Hari ini kita menyaksikan mereka yang dididik untuk menjadi pelayan publik seperti di Institut Pemerintahan Dalam Negeri, Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran, dan lain-lain justru tidak mampu melayani sesama dengan baik. Kita saksikan malah atribut brutalisme mereka dengan berbagai aksi kekesaran. Baik yang dilakukan diam-diam mau pun terang-terangan.

Bayangkan. Pelayanan seperti apa yang bisa diberikan ke masyarakat dengan pendidikan kekerasan semacam ini?

Hari ini kita menyaksikan mereka yang belajar ilmu-ilmu ekonomi setelah lulus justru banyak yang menjadi beban ekonomi. Bukan sebaliknya memberikan solusi ekonomi dengan pemikiran dan karyanya. Jumlah pengangguran sarjana dewasa ini melonjak drastis, yakni dari 183.629 lulusan pada tahun 2006 menjadi 409.890 lulusan pada tahun 2007 ditambah dengan pemegang gelar diploma I, II, dan III yang menganggur lebih dari 740.000 orang.

Hari ini juga kita menyaksikan mereka yang belajar Islam seperti di Universitas Islam Negeri (UIN) atau Sekolah Tinggi Islam malah banyak yang lebih tertarik (kalau tidak tergila-gila) untuk mengadopsi ideologi lain daripada mengembangkan dan melaksanakan kehidupannya berdasarkan nilai-nilai Islam. Bahkan pada titik ekstrim banyak di antara mereka yang justru anti terhadap berbagai atribut sosial maupun hukum yang bersumber dari Islam.

Anomali juga terjadi pada pendidikan pertanian, teknologi, maupun kedokteran. Hari ini kita juga menyaksikan mereka yang dididik untuk memajukan dunia pertanian seperti di institut maupun universitas pertanian malah banyak yang lari dari dunia pertanian.

Anomali atau deviasi yang terlalu jauh antara output yang seharusnya dengan output nyata ini tidak boleh berlanjut karena akan menyebabkan segala investasi di bidang pendidikan kita menjadi sia-sia. Pasti ada yang salah dalam proses pembelajaran yang terjadi di institusi pendidikan kita yang perlu ditemukan dan dibenahi bersama.

Sayangnya banyak pimpinan maupun pakar-pakar pendidikan tinggi kita yang menganggap deviasi ini sebagai suatu hal yang wajar. Bahkan, tidak jarang di antara mereka yang hobi berapologi di balik kata "dalam arti luas".

Misalnya seorang professor di sebuah pendidikan tinggi pertanian tidak merasa ada yang salah ketika lulusannya bekerja sebagai marketer di sebuah perusahaan otomotif. Sang profesor berapologi kalau mahasiswanya tetap bekerja di bidang pertanian. Namun, dalam arti luas karena petani juga butuh produk otomotif.

Perlu ada keberanian untuk mengakui adanya deviasi antara output yang diharapkan dari kurikulum pendidikan yang telah ditetapkan dengan output yang sebenarnya. Hanya dengan begitu kita akan mampu mencari jalan keluar untuk memperbaiki dunia pendidikan tinggi kita. Semoga!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar